Minggu, 21 November 2010

PENGERTIAN KORUPSI DAN KORUPSI SEBAGAI KEJAHATAN LUAR BIASA

istilah korupsi berasal dari bahasa latin ‘coruptio’ atau ‘corruptus’ yang berarti kerusakan atau kebobrokan. (Lih: Focus Andreas dalam Prodjo Hamidjoyo, 2001:7). Dalam bahasa Yunani, ‘corruptio’ berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama materiil, mental dan umum (Nurjana, 1990; 77). Pemahaman di atas merupakan pengertian yang sangat sederhana, yang tidak dapat dijadikan tolak ukur untuk menilai perbuatan korupsi itu sendiri.
Secara hukum pengertian Korupsi adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara artinya korupsi didefinisikan sebagai sesuatu tindakan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Secara umum korupsi diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan/wewenang (yang seharusnya melindungi kepentingan umum/publik) untuk kepentingan pribadi.
Seluruh delegasi Sidang Parlemen Asia menilai tindakan korupsi sebagai bentuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Kejahatan seperti ini harus dilawan bersama dengan melibatkan semua pihak."Disebut kejahatan luar biasa karena korupsi membawa dampak kerusakan yang luar biasa pada masyarakat, bangsa dan negara," kata Presiden Asian Parliamentary Assembly, Marzuki Alie, saat mengeluarkan pernyataan sikap bersama para delegasi Asian Parliamentary Assembly (APA) menyambut hari Anti Korupsi Sedunia tanggal 9 Desember 2009, di Bandung, 9 Desember 2009. korupsi menggerogoti sendi-sendi pembangunan bangsa, membuat bangsa buka saja statis tetapi mengalami suatu kemunduran yang signifikan akibat perilaku korupsi. "Korupsi adalah suatu kejahatan besar yang bersifat kompleks, sistemik dan pemberantasannya perlu dilakukan secara sistematis, komprehensif dan melibatkan semua pihak PBB juga telah menyepakati pembentukan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang kemudian telah ditindaklanjuti dalam Sidang ke-58 Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi 58/4 tanggal 31 Oktober 2003. "Berbagai negara telah meratifikasinya, hal ini menunjukkan adanya komitmen nyata bersama sebagai negara yang menginginkan proses dan kemajuan pembangunan dicapai dengan menekan dan meniadakan praktik-praktik korupsi dan segala derivasinya terutama terkait dengan target pencapain tujuan pembangunan Millenium 2015 yang semakin dekat.perlu ditegakkan prinsip-prinsip mendasar seperti transparansi, akuntabilitas, partisipatif dan adanya kesamaan hak.
Tak dapat dibantah lagi, korupsi adalah tindakan yang sangat ditentang oleh ajaran agama apapun. Ini karena korupsi menyiratkan dua aspek kejahatan; kejahatan teologis dan kejahatan kemanusiaan. Korupsi diklaim sebagai kejahatan teologis, karena pelakunya telah mengingkari dan mengkhianati ajaran-ajaran suci agama yang dipeluknya.
Tidak ada satu ajaran agamapun yang mentolerir, apalagi membenarkan tindak korupsi. Bila ada ajaran agama yang mentolerir, apalagi membenarkannya, maka ajaran itu tidak layak disebut sebagai ajaran agama. Sedangkan klaim korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan, ini karena efek dari tindakan korupsi itu, masyarakat (terutama yang lemah) kian hidup dalam kubangan kesengsaraan. Sebab, uang negara yang seharusnya ditasharrufkan bagi kemaslahatan mereka, tidak mencapai sasaran. Uang itu "ditelan" para koruptor. Ini berarti, para koruptor telah merampas kesejahteraan mereka. Itulah kejahatan sekaligus tragedi kemanusiaan yang luar biasa dahsyat. Karenanya, tak ada kata tawar lagi, korupsi harus secepatnya diberangus hingga ke akarnya, sebelum kejahatan dan tragedi kemanusiaan itu kian menjadi-jadi.
Korupsi adalah “trend konservatif klasik” sejak zaman Romawi. Sejarah menunjukkan bahwa Gaius Verres, Gubernur Sisilia di Romawi pada tahun 70 SM diseret oleh Cicero di depan meja hijau dengan dakwaan korupsi. Tidak hanya itu, Verres bahkan berusaha keras menyuap hakim. Namun akhirnya melarikan diri ke Massilia dan hidup mewah dalam pengasingan, walaupun akhirnya dibunuh atas perintah Marcos Antonius.
Selama lebih 40 tahun terakhir Indonesia “mengidap” korupsi. Hingga saat ini kita masih sangat sulit menemukan obat yang ampuh untuk menyembuhkannya. Korupsi telah membuat sendi kehidupan bernegara mengalami kekeroposan.Sendi perekonomian sebagai penopang utama kehidupan mengalami kerapuhan, nilai mata uang secara signifikan mengalami kejatuhannya.
Sendi sosial juga bernasib sama, korupsi telah menjadi hal lumrah dalam potret kehidupan keseharian mulai tingkat struktur RT (Rukun Tetangga) hingga ke tingkat Lembaga Kepresidenan. Bahkan organisme tubuh kita inipun mungkin telah “dijangkiti” virus korupsi yang jauh lebih dahsyat dampaknya dari virus-virus penyakit jasmani.
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Korupsi di Indonesia bukan sebagai kasus yang baru, hal ini terbukti dari survey yang dilakukan oleh Marketing Research Indonesia (MRI), tentang persepsi masyarakat (Perkantoran) terhadap Tingkat Korupsi di Indonesia. Survey tersebut dilakukan terhadap 2.300 responden termasuk diantaranya 400 responden dari dunia usaha 1.250 rumah tangga, dan 650 responden pegawai diperoleh beberapa catatan bentuk-bentuk korupsi yang dikenal oleh masyarakat antara lain korupsi tanah/penggusuran tanah rakyat, korupsi dana/uang, korupsi oleh pejabat tinggi, korupsi di Pertamina, korupsi di PPD, korupsi di pertambangan, korupsi di PLN, korupsi di Perusahaan, korupsi di bank-bank, korupsi di KPU, korupsi di pemerintahan, korupsi uang TPR (Tanda Parkir Restribusi), korupsi di Bulog, korupsi di pengadilan, korupsi di BUMN, korupsi di kejaksaan, korupsi di LSM, korupsi uang ASTEK, korupsi di TELKOM, korupsi dibidang perindustrian, korupsi diperusahaan asing, korupsi di PDAM, korupsi di dalam ketenagakerjaan, korupsi hasil hutan, korupsi di penerbangan, korupsi dana JPS, dan seterusnya.
Pada kasus di Indonesia, jenis korupsi secara sederhana terwujud antara lain dalam bentuk uang pelicin dalam mengurus berbagai surat-surat, seperti Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi, Akta Lahir atau Paspor agar prosesnya lebih cepat. Padahal seharusnya, tanpa uang pelicin surat-surat ini memang harus diproses dengan cepat. Jenis korupsi lainnya muncul antara lain dalam bentuk ‘uang damai’ dalam kasus pelanggaran lalu lintas, agarsi pelanggar terhindar dari jerat hukum.
Korupsi menjadikan martabat bangsa menjadi rendah, kehidupan masyarakat menjadi tidak tenteram kerena masyarakat harus menanggung pajak yang tinggi sebagai akibat dari korupsi yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah termasuk pinjaman IMF/ CGI/ World Bank. Korupsi para pejabat mengakibatkan defisit APBN. Defisit APBN tersebut harus ditutup, salah satunya dengan kenaikan pajak, menaikkan harga BBM, harga PLN, dan lain-lain. Tetapi sampai saat ini belum begitu jelas peran aparat hukum yang benar-benar tegas untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.
Pada saat ini kinerja aparat penegak hukum dalam menangani masalah-masalah hukum khususnya yang terkait dengan tindak pidana korupsi dipertanyakan kembali. Sudah menjadi rahasia umum bahwa aparat kepolisian, kejaksaan, kehakiman adalah lembaga-lembaga yang melanggengkan korupsi sehingga menjadi suatu sistem yang buruk dalam penegakan hukum. Bahkan karena sudah melembaganya korupsi di lingkungan aparat penegak hukum itu sendiri hingga akhirnya timbul suatu idiom tentang “Kasih Uang Habis Perkara (KUHP).”
Berbagai kebijakan pemerintah tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemberantasan korupsi antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (selanjutnya disebut UU No. 28 Tahun 1999), serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU No. 31 Tahun 1999) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut dengan UU No. 20 Tahun 2001), dan dalam hal ini masih banyak peraturan-peraturan lain yang mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan korupsi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 43 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001, terdapat badan khusus yang juga disebut Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut KPTPK) yang memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggung jawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaannya diatur dengan Undang-undang. Peraturan ini dituangkan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU No. 30 Tahun 2002).
Pembentukan komisi tersebut diatas masih dipertanyakan keefektivitasannya dalam menangani kasus-kasus korupsi yang tergolong kasus-kasus besar saat ini misalkan kasus korupsi mantan Presiden Soeharto, kasus korupsi di DPRD Semarang, dan masih banyak lagi.

SEBAB-SEBAB KORUPSI
Awal korupsi banyak yang menyepakati dimulai dari penyalahgunaan wewenang/kuasa. Ketika pemilik kekuasaan lebih mementingkan kepentingan dirinya daripada kepentingan orang banyak/publik.
Ibarat dokter yang ingin menyembuhkan perlu mengetahui penyebab sakit, begitu pula kita perlu mengetahui penyebab korupsi jika berniat untuk memberantasnya. Banyak teori telah dimunculkan beberapa pakar. DR Imam Prasodjo dalam suatu forum diskusi menjelaskan beberapa penyebab korupsi, yakni :
a. Kebutuhan
Bila penghasilan sangat rendah dan tak mencukupi kebutuhan normal maka seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara, salahsatunya tindak korupsi; baik itu korupsi waktu, tenaga, dan pikiran.
b. Ketamakan
Kemungkinan orang sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri, apalagi bila ditambah perilaku konsumtif. Ini bisa mengubah seseorang menjadi tamak. Ia tidak mempedulikan moralnya, godaan dari lingkungan mudah untuk diikuti, ia juga dengan mudah mengabaikan ajaran agamanya. Ketamakan bisa juga dari sifat malas tapi ingin cepat kaya.
c. Sistem
Sistem disini dimaksudkan jika seseorang melakukan korupsi mau tidak mau karena menjadi bagian dalam sistem tersebut.
Posisi pemimpin dalam suatu institusi mempunyai pengaruh penting. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahannya akan mengambil kesempatan yang sama. Seorang bawahan yang kerap menyuap atasannya agar mendapat tempat yang enak atau cepat naik jabatan cenderung akan berpikir bagaimana “kembali modal saat sudah mempunyai kekuasaan.
Pengendalian/pengawasan manajemen merupakan salah satu sebab pelanggaran korupsi, semakin longgar semakin terbuka untuk melakukan korupsi.

DAMPAK TERJADINYA KORUPSI
Korupsi membawa dampak kerusakan sangat besar, sedikit dari banyak dampak itu misalnya:
1. Proses demokrasi terganggu; rakyat tak percaya pada pemerintahan hasil pemilu yang demokratis tapi wakil rakyat terpilih menggunakan uang untuk menggalang suara dari pendukung.
2. Pengambilan keputusan di lembaga negara terganggu; mereka mementingkan orang yang paling banyak menyuap. Hukum dan birokrasi hanya melayani kekuasaaan dan pemilik modal.
3. Kinerja terganggu; promosi jabatan bukan berdasar prestasi tapi penyuapan, pertemanan/kedekatan, atau kolusi.
4. Korupsi mengakibatkan proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga mengganggu pembangunan yang berkelanjutan.
5. Sistem ekonomi terganggu, karena hasil produksi akan kalah bersaing dan utang luar negri disalahgunakan.

LANGKAH PEMBERANTASAN KORUPSI
Jelas dibutuhkan strategi untuk memerangi korupsi! Tetapi sering upaya anti-korupsi tidak memiliki strategi. Ketika korupsi dilihat hanya sebagai penyimpangan karena orang-orang yang tidak bermoral, maka strateginya pun akan lemah. Kunci untuk memerangi korupsi adalah perubahan sistem dan kebijakan, bukan memburu satu-dua orang yang dituduh melakukannya. Tidak berarti himbauan untuk meningkatkan moral ditinggalkan.Harus disadari, korupsi bukan hanya kejahatan karena moral! Korupsi lebih tepat disebut kejahatan kalkulasi. Seseorang yang melakukan korupsi akan menimbang, ketika keuntungan yang didapat jauh lebih besar daripada kemungkinan sanksi yang diperolehnya, maka peluang terbuka lebar-lebar. Sangat tepat anjuran Kwik Kian Gie dalam bukunya mengenai pemberantasan korupsi, yaitu yang ia sebut carrot and stick (wortel dan pentungan), atau bisa diartikan secara bebas; hadiah dan hukuman. Sebagai contoh nyata, jika gaji kecil kebutuhan besar maka keinginan untuk melakukan korupsi akan lebih besar. Maka perlu gajinya dinaikkan secara layak, atau dalam kasus tertentu diatas layak. Tetapi ketika dengan gaji yang tinggi ia tetap melakukan korupsi maka sanksi seberat-beratnya layak dipukulkan kepadanya.
Dari pengalaman Hongkong yang merupakan legenda dunia karena kesuksesannya dalam pemberantasan korupsi, kita bisa meniru suatu Langkah Strategi Pemberantasan Korupsi :
1. Menyadari tentang adanya korupsi sistematis; semua pihak semestinya memahami tidak mungkin gerakan pemberantasan korupsi hanya mengadalkan hukum, kekuasaan pemerintah/aparat, bahkan kekuasaan pengadilan, atau malah hanya dari rakyat. Perlu kerjasama terpadu antara semua pihak.
2. Membentuk lembaga independen yang kuat. Hal ini sudah dilakukan di Indonesia dengan dibentuknya KPK dengan payung hukum yang cukup kuat.
3. Menerapkan penguatan sistem dan kebijakan anti-korupsi, penerapan carrot and stick, memperkuat kerjasama antar lembaga pemerintahan.
4. Setelah strategi di tingkat penyelenggara negara dilakukan, maka perlu memperluas keterlibatan masyarakat warga. Kerahkan warga, kampanye kepedulian budaya bebas korupsi, melibatkan sebanyak-banyaknya partisipasi warga, memudahkan akses ke lembaga independen, kampanye moral. Libatkan LSM pemantau korupsi. Dorong institusi agama menghimbau umatnya menghindari korupsi.
5. Terjadinya kerjasama semua pihak, semua pihak mulai merasakan hasil anti-korupsi, semua pihak semakin memperbanyak pencegahan.


UPAYA DARI DIRI KITA SENDIRI:
* Tidak menyuap, tidak melalui jalan pintas ketika melalui prosedur birokrasi, mematuhi peraturan; ini secara praktisnya. Ini akan menghindarkan kita dari sikap permisif ketika kita mengetahui adanya korupsi.
* Meninggalkan pola hidup konsumtif, selalu memegang kejujuran; ini akan mengasah hati nurani kita untuk menolak tindak korupsi.
* Mengembangkan solidaritas, sehingga sedikit banyak kita membantu memperkecil jurang kesenjangan sosial dan secara tak langsung mengerem laju konsumerisme.
* Bersikap kritis terhadap segala bentuk penyelewengan kekuasaan pejabat publik, sekecil apapun penyelewengan itu, dampaknya akan terimbas ke kita dan semua rakyat Indonesia!



sumber : wikipedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar